CeritaSex - Kegiatan ronda memang rutin diadakan di kampungku selama ini masih berjalan baik, setiap malam pasti ada ship terdiri dari 3 orang, malam itu aku dapat giliran untuk untuk jaga pada malam minggu, tepat pukul 00.00 yang seharusnya menemaniku ronda belum kunjung datang karena kegitan ronda sukarela maka aku juga tidak memperdulikan mau datang atau tidak.
Dan aku mengelilingi kampungku karena aku belum mengantuk aku mengelilingi rumah rumah penduduk dengan sarung dan senter karena udaranya dingin aku menyalakan rokokku, pada sampai di rumah Pak Erkam aku melihat kaca yang belum tertutup dengan benar dan aku mendekati itu kelupaan atau ada orang yang masuk dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi.
Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako, tetapi langsung menutup kain kordennya saja. Mendadak aku mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika ternyata itu suara orang bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur Pak Erkam dan istrinya. Aku lebih mendekat lagi, suaranya dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dan goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar.
“Ssshh… hhemm… uughh… ugghh, terdengar suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu. Jelas itu suara Bu Erkam yang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Erkam sedang mengocok liang vagina Bu Erkam.
Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Erkam menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi Bu Erkam yang cantik dan bahenol itu.
“Oohh, sshh buuu, aku mau keluar, sshh…. ssshh..” terdengar suara Pak Erkam tersengal-sengal.
Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya Pak Erkam sudah ejakulasi dan pasti penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Erkam. Selesailah sudah persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari Erkam.
Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat tidurnya. Walaupun nako tidak terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak rapat benar. Aku jadi seperti detektip partikelir yang mengamati kegiatan mereka di sore hari. Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya.
Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Apabila aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur.
Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih Bu Erkam yang kegelian (barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Erkam), dapat dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan.
Dan aku pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara Pak Erkam dan khususnya suara Bu Erkam yang keenakan disetubuhi suaminya. Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu Bu Erkam juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri Pak Erkam itu.
Orangnya memang cantik, dan badannya padat berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya yang besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena Bu Erkam istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Erkam pasti jadi masalah besar di kampungku.
Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya dapat menikmati keindahan tubuh Bu Erkam.
Pada suatu hari aku mendengar Pak Erkam opname di rumah sakit, katanya operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan aku banyak waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku mencoba membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Erkam.
Pada suatu sore, aku menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya Pak Erkam. Sore itu, mereka sepakat Bu Erkam akan digantikan adiknya menunggu di rumah sakit, karena Bu Erkam sudah beberapa hari tidak pulang. Aku menawarkan diri untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih akrab dengan keluarga itu.
Sehabis mahgrib aku bersama Bu Erkam pulang. Dalam mobilku kami mulai mengobrol, mengenai sakitnya Pak Erkam. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekati Bu Erkam.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Erkam sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Erkam.
“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan terus.” godaku.
“Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi” jawab Bu Erkam agak kikuk.
Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minimal 2 kali bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Erkam yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo”, kata Bu Erkam.
“Eeh, benar nih Bu Erkam. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Erkam ini lhoo”, kataku menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu Erkam harus aku dapatkan.
“Eeh, Bu Erkam. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Erkam juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Erkam setuju. Batinku bersorak.
Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.
“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Erkam dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Erkam marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh”, kubuat Bu Erkam penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu Erkam memandangku penuh tanda tanya.
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil. “Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”
“Bu Erkam terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu Erkam.
Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Erkam. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Erkam kan istri tetanggaku yang harus aku hormati.
“Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali”, kataku menghiba. Bu Erkam melongo,memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring. Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.SahabatQQ
Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam mobil aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang setir.
Di luar dugaanku, Bu Erkam balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan.Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang.Mendadak ada sepeda motor menyalib mobilku. Aku kaget.
“Awaas! hati-hati!” Bu Erkam menjerit kaget.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya kalau nyetir jangan macam-macam”, kata Bu Erkam.
Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang. Di rumah aku mencoba untuk tidur.
Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu Erkam yang sekarang sendirian, hanya ditemani pembantunya yang tua di kamar belakang. Ada dorongan sangat kuat untuk mendatangi rumah Bu Erkam.
Berani nggaak, berani nggak. Mengapa nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Erkam. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca nakonya,
“Buu Erkam, aku Budi”, kataku lirih. Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi. Mungkin Bu Erkam bangun dan takut. Bisa juga mengira aku maling.
“Aku Budi”, kataku lirih. Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit.
Nako terbuka sedikit. “Lewat belakang!” kata Bu Erkam. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur. Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali.
Aku nggak tahan lagi, Bu Erkam aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan lembut dan mesra, penuh kerinduan. Bu Erkam membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.
“Aku nggak bisa tidur”, bisikku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu.
“Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat tidur.
Bu Erkam membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Erkam menyingkapkan dasternya ke atas, dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung.
Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan, dan Bu Erkam meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya.
Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang. Bu Erkam segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Erkam, bertelekan pada sikut dan dengkulku.
Kaki Bu Erkam dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di bibir kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin dalam, semakin… dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu Erkam.
Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali. Penisku dijepit kemaluan Bu Erkam yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu.
“Aduuh, Dik Budi, Dik Budii… enaak sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Erkam sambil mendesis-desis.
Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Erkam kecepak-kecepok, menambah semangatku.
“Dik Budiii aku mau muncaak… muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar.
Aku percepat, dan penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Erkam sampai amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Erkam.
Kami berangkulan kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah, aku merasa lemas sekali tetapi puas sekali. Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur napas kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.
“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu. Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan siapa aku membuat anak”, katanya sambil mencubitku.
Malam itu pertama kali aku menyetubuhi Bu Erkam tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai aku kimpoi dengan wanita lain. Bu Erkam walaupun cemburu tapi dapat memakluminya.
Keluarga Pak Erkam sampai saat ini hanya mempunyai satu anak perempuan yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu Erkam sering menciumi anak itu, sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada meledek Bu Erkam, mungkin waktu hamil Bu Erkam benci sekali sama aku. Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir yang persis seperti mata, pipi, hidung, dan bibirku.
Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Erkam istri tetanggaku yang cantik itu tetap berlanjut sampai kini, walaupun aku telah berumah tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua tahun lebih, kami belum dikaruniai anak.
Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat. Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh saja nafsunya sudah naik.
Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya, menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang tebal bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur, di kamar mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku masukkan saja penisku ke vaginanya.
Istriku juga dengan penuh gairah menerima coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap saat melihat istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar membuat hidupku penuh semangat dan gairah. Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil juga aku jadi agak kawatir. Kalau mandul, jelas aku tidak. Karena sudah terbukti Bu Erkam hamil, dan anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan keluarga Pak Erkam.
Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang teratur, aku yakin istriku subur juga. Apakah aku kena hukuman karena aku selingkuh dengan Bu Erkam? aah, mosok.
Nggak mungkin itu. Apakah karena dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena menyetubuhi Bu Erkam itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka hubungan gelap itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.Agen Domino99
Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Erkam, kami sepakat dengan membuat kode khusus yang hanya diketahui kami berdua. Apabila Pak Erkam tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Erkam memadamkan lampu di sumur belakang rumahnya.
Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam, namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan aman dan aku dapat mengunjungi Bu Erkam. Karena dari samping rumahku dapat terlihat belakang rumah Bu Erkam, dengan mudah aku dapat menangkap tanda tersebut.
Tetapi pernah tanda itu tidak ada sampai 1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku kadang-kadang jadi agak jengkel dan frustasi (karena kangen) dan aku mengira juga Bu Erkam sudah bosan denganku. Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu.
Pada suatu hari aku berpapasan dengan Bu Erkam di jalan dan seperti biasanya kami saling menyapabaik-baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, dia berkata,
“Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan nggak?”
“Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.
“Emangnya Pak Erkam nggak ada?” kataku.
Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa,darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu nanti. Seperti biasa malam minggu adalah giliran ronda malamku. Istriku sudah tahu itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya apa-apa kalau pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Erkam.
Aku hanya memakai sarung, tidak memakai celana dalam dan kaos lengan panjang biar agak hangat. Dan memang kalau tidur aku tidak pernah pakai celana dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih rileks dan tidak sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Erkam sudah padam dari Erkam. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju ke samping rumah Bu Erkam.
Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup kembali.
Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Erkam masuk ke kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati kemesraan itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya.
Setelah itu, Bu Erkam mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra, Bu Erkam tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah lama kita nggak begini”, katanya lirih.
Bu Erkam sekarang kalau sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Erkam menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami berdua.
“Pak Erkam sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Erkam diam saja danmemandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada masalah.
“Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak melucu. Bu Erkam memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku akan sayang sekali.
Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan.Kok malah minta didoain. Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat.
Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih”, kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur, kutelentangkan. Bu Erkam mandah saja. Pasrah saja mau diapain
Dia memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu. Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu aku pelorotkan.
Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah.
Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu,buah dada yang putih menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona. Aku tidak tahan lagi.
Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik di atas tubuh Bu Erkam. Kugumuli dia dengan penuh nafsu. Aku tidak peduli Bu Erkam megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes banget, nafsu banget sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Erkam.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Erkam memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah.
Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina Bu Erkam dengan penisku. Bu Erkam semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih.Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Erkam
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”,jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat.
Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Erkam menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan diamerangkul kuat-kuat.
Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku dan aku terguling di samping Bu Erkam. Bu Erkam miring menghadapku dan tangannyadiletakkan di atas perutku.
Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa.
Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa Erkam mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil lagi berarti Papa masih joosss.
Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum manis.
Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.
Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di rahim istri gelapku ini?
0 Komentar